Sidang Praperadilan, Penasehat Hukum Kecewa Dengan Polres Langkat, Ini Sebabnya


BINJAILANGKATTODAY. COM

Pengadilan Negeri Stabat menggelar sidang praperadilan dengan pemohon pria berinisial S, tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana pencabulan terhadap anak, dan Polres Langkat selaku termohon yang digelar di Gedung Pengadilan Negeri Stabat, Kabupaten Langkat, Senin (22/7/2024).


Dalam sidang tersebut, pihak pemohon mengaku kecewa, dikarenakan perwakilan dari Polres Langkat selaku pihak termohon tidak hadir dalam persidangan tersebut.


Penasehat hukum pemohon, Dr. Adv. Abdul Halim Nasution, S.Ag. S.H. M.H., menilai ketidakhadiran Polres Langkat selaku pihak termohon dalam sidang praperadilan menunjukan institusi terkait tidak profesional sebagai Aparatur Hukum Negara.


Sebaliknya, penasehat hukum pemohon juga ragu terhadap terpenuhinya dua alat bukti yang dimiliki termohon, sehubungan dengan penetapan pemohon sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana pencabulan terhadap anak oleh Satuan Reserse Kriminal Polres Langkat, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor: 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor: 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor: 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.


" Terus terang kita kecewa dengan Polres Langkat, karena tidak hadir dalam sidang praperadilan. Ada apa sebenarnya dengan Kapolres Langkat," ucap Abdul Halim. 


Menurutnya, praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan.


Selain itu, lanjut Abdul Halim, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan. Hal ini tertuang pada penjelasan Pasal 80 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).


" Berdasarkan pada nilai inilah, penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan, agar lebih mengedepankan azas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka," terangnya.


Di sisi lain, ungkap Abdul Halim, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 21/PUU-XII/2014, MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan.


Melalui putusannya itu pula, MK menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Lalu dalam pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.


Hal ini berkaitan erat dengan penetapan pemohon sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana pencabulan terhadap anak oleh Satuan Reserse Kriminal Polres Langkat, Nomor: SP.Tap/244/VI/Res.1.24/2024/Reskrim, tanggal 28 Juni 2024, diduga tidak memiliki alat bukti permulaan yang cukup, Apalagi saat pemohon melalui penasehat hukumnya meminta untuk ditunjukkan alat bukti Visum et Repertum, sesuai dengan Pasal 133 KUHAP sebagai alat bukti, justru tidak pernah ditunjukan dan diberikan.


" Logika hukumnya, pemohon yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, maka dia berhak untuk melihat alat bukti yang menyebabkannya menjadi tersangka," pungkasnya. (Blt1) 

Posting Komentar

0 Komentar